Semasa dahulu pekerjaan menenun hanya dikenal di lingkungan istana saja sebagai pekerjaan sambilan. Namun sesuai dengan perkembangan zaman, pekerjaan menenun merembes keluar tembok istana.Tenun Siak adalah tenunan yang dibuat (ditenun) dengan menggunakan benang katun atau benang sutera yang diberi motif benang emas dengan berbagai motif seperti pucuk rebung, siku keluang, tampuk manggis, dan lain-lain.Dengan dimekarkannya Siak menjadi Kabupaten, perhatian pemerintah terhadap perkembangan tenunan Siak semakin besar, dan tenunan Siak sebagai bawang bawaan atau cinderamata khas dari Siak semakin diminati oleh para kolektor, masyarakat pemakai, dan para pelancong yang datang ke Siak.
Sabtu, 10 Maret 2012
TENUN SIAK KAIN SONGKET MELAYU
Kerajinan
tangan yang sangat terkenal dari Siak semenjak dahulu adalah kerajinan
industri rumah yaitu kerajinan tenunan, karena berasal dari Siak maka
dinamakan Kain Tenun Siak.
SEJARAH TENUN SIAK
Orang pertama yang memperkenalkan Tenun ini adalah seorang
pengrajin yang didatangkan dari Kerajaan Terengganu Malaysia pada masa Kerajaan
Siak diperintah oleh Sultan Sayid Ali. Seorang wanita bernama Wan Siti Binti
Wan Karim dibawa ke Siak Sri Indrapura, beliau adalah seorang yang cakap dan
terampil dalam bertenun dan beliau mengajarkan bagaimana bertenun kain songket.
Karena pada saat itu hubungan kenegerian Kesultanan Siak dengan negeri-negeri
melayu di semenanjung sangat lah erat, terutama juga dalam hal seni dan budaya
melayu yang satu. Pada
awalnya tenun yang diajarkan adalah merupakan tenun tumpu dan kemudian bertukar
ganti dengan menggunakan alat yang dinamakan dengan "Kik", dan kain
yang dihasilkan disebut dengan kain Tenun Siak. Pada awalnya kain tenun siak
ini dibuat terbatas bagi kalangan bangsawan saja terutama Sultan dan para
keluarga serta para pembesar kerajaan di kalangan Istana Siak. Kik adalah alat
tenun yang cukup sederhana dari bahan kayu berukuran sekitar 1 x 2 meter.
Sesuai dengan ukuran alatnya, maka lebar kain yang dihasilkan tidaklah lebar
sehingga tidak cukup untuk satu kain sarung, maka haruslah di sambung dua yang
disebut dengan kain "Berkampuh". Akibatnya
untuk mendapatkan sehelai kain, terpaksa harus ditenun dua kali dan kemudian
hasilnya disambung untuk bagian atas dan bagian bawah yang sudah barang tentu
memakan waktu yang lama. Dalam bertenun memerlukan bahan baku benang, baik
sutera ataupun katun berwarna yang dipadukan dengan benang emas sebagai ornamen
( motif ) atau hiasan. Dikarenakan benag sutera sudah susah didapat, maka lama
kelamaan orang hanya menggunakan benang katun. Dan pada saat ini pula kain
tenun songket siak dikembangkan pula pembuatannnya melalui benang sutera.
Nama-nama motif tenun Songket Riau itu antara lain, Pucuk Rebung, Bunga Teratai,
Bunga Tanjung, Bunga Melur, Tapuk Manggis, Semut Beriring, Siku Keluang. Semua
motif ini dapat pula saling bersenyawa menjadi bentuk motif baru.
Tokoh Wanita Melayu
Riau yang sangat berperan dalam mengembangkan kerajinan kain tenun songket
melayu Siak di Riau adalah TENGKU MAHARATU. Tengku Maharatu adalah permaisuri Sultan
Syarif Kasim II yang kedua, setelah permaisuri pertama, Tengku Agung meninggal
dunia. Dia melanjutkan perjuangan kakaknya dalam meningkatkan kedudukan kaum
perempuan di Siak dan sekitarnya, yaitu dengan mengajarkan cara bertenun yang
kemudian dikenal dengan nama tenun Siak. Tenun Siak yang merupakan hasil karya
kaum perempuan telah menjadi pakaian adat Melayu Riau yang dipergunakan dalam
pakaian adat pernikahan dan upacara lainnya. Berkat perjuangan permaisuri
pertama yang dilanjutkan oleh permaisuri kedua, perempuan yang tamat dari
sekolah Madrasatun Nisak dapat menjadi mubalighat dan memberi dakwah, terutama
kepada kaum perempuan.
Tenunan
yang lazim di sebut songket itu dalam sejarah yang panjang telah melahirkan
beragam jenis motif, yang mengandung makna dan falsafah tertentu. Motif-motif
yang lazimnya di angkat dari tumbuh-tumbuhan atau hewan (sebagian kecil) di
kekalkan menjadi variasi-variasi yang serat dengan simbol-simbol yang
mencerminkan nilai-nilai asas kepercayaan dan budaya melayu. Selanjutnya, ada
pula sebagian adat istiadat tempatan mengatur penempatan dan pemakaian
motif-motif di maksud, serta siapa saja berhak memakainya. Nilainya mengacu
kepada sifat-sifat asal dari setiap benda atau makhluk yang dijadikan motif
yang di padukan dengan nilai-nilai luhur agama islam. Dengan mengacu
nilai-nilai luhur yang terkandung di setiap motif itulah adat resam tempatan
mengatur pemakaian dan penempatannya, dan menjadi kebanggaan sehingga
diwariskan secara turun temurun . Orang tua-tua menjelaskan bahwa kearifan
orang melayu menyimak islam sekitarnya memberikan mereka peluang besar dalam
memilih atau menciptakan motif. Hewan yang terkecil seperti semut, yang selalu
bekerja sama mampu membuat sarang yang besar, mampu mengangkat barang-barang
yang jauh lebih besar dari badannya, dan bila bertemu selalu berangkulan,
memberi ilham terhadap pencintaan motif untuk mengabadikan perihal semut itu
dalam motif tersebut sehingga lahirlah motif yang dinamakan motif semut
beriring. Begitu
pula halnya denagn itik yang selalu berjalan beriringan dengan rukunnya
melahirkan motif itik pulang petang atau itik sekawan. Hewan yang selalu
memakan yang manis dan bersih (sari bunga), kemudian menyumbangkannya dengan
mahkluk lain dan bentuk madu dan selalu hidup berkawan-kawan dengan damainya
melahirkan pula motif lebah bergantung atau lebah bergayut. Bunga-bungaan
yang indah, wangi dan segar melahirkan motif-motif bunga yang mengandung nilai
dan filsafah keluhuran dan kehalusan budi, keakraban dan kedamaian seperti
corak bunga setaman, bunga berseluk daun dan lain-lain. Burung balam, yang
selalu hidup rukun dengan pasangannya, melahirkan motif balam dua setengger
sebagai cermin dari kerukunan hidup suami istri dan persahabatan. Ular naga,
yang di mitoskan menjadi hewan perkasa penguasa samudra, melahirkan motif naga
berjuang serindit mencerminkan sifat kearifan dan kebijakan. Motif puncak
rebung dikaitkan dengan kesuburan dan kesabaran. Motif awan larat dikaitkan
dengan kelemah-lembutan budi, kekreatifan, dan sebagainya. Dahulu
setiap pengrajin diharuskan untuk memahami makna dan falsafah yang terkandung
di dalam setiap motif. Keharusan itu dimaksudkan agar mereka pribadi mampu
menyerat dan menghayati nilai-nilai yang dimaksud, mampu menyebarluaskan, dan
mampu pula menempatkan motif itu sesuai menurut alur dan patutnya. Karena
budaya melayu sangat ber-sebati dengan ajaran islam, inti sari ajaran itu
terpateri pula dengan corak seperti bentuk segi empat dikaitkan dengan sahabat
Nabi Muhammad SWT yang berempat, bentuk segi lima dikaitkan dengan rukun islam,
bentuk segi enam dikaitkan dengan rukun iman, bentuk wajik dikaitkan dengan
sifat Allah yang maha pemurah, bentuk bulat dikaitkan dengan sifat Allah yang
maha mengetahui dan penguasa alam semesta, dan sekitarnya. Menurut
orang tua melayu Riau, makna dan falsafah di dalam setiap motif, selain dapat
meningkatkan minat-minat orang untuk menggunakan motif tersebut, juga dapat
menyebar-luaskan nilai-nilai ajaran agama Islam yang mereka anut, itu lah
sebabnya dahulu pengrajin diajarkan membuat atau meniru corak. Ungkapan adat
mengatakan :
Khasanah songket melayu amatlah kaya dengan motif dan serat
dengan makna dan falsafahnya, yang dahulu dimanfaatkan untuk mewariskan
nilai-nilai asas adat dan budaya tempatan. Seorang pemakai songket tidak hanya
sekedar memakai untuk hiasan tetapi juga untuk memakai dengan simbol-simbol dan
memudahkannya untuk mencerna dan menghayati falsafah yang terkandung di
dalamnya. Kearifan itulah yang menyebabkan songket terus hidup dan berkembang,
serta memberikan manfaat yang besar dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Langganan:
Postingan (Atom)